Dilihat dari data-data ini, kata Saiful, walaupun tidak begitu tinggi, masyarakat Indonesia secara umum religius dan mengaku bahwa agama itu penting dalam hidup mereka.
Bagaimana efek beragama terhadap pilihan partai politik? Saiful menunjukkan bahwa sebetulnya yang paling kuat hubungannya dengan pilihan politik adalah identitas beragama. Walaupun pengaruhnya kuat, tambah Saiful, tapi terbatas. Kalau yang bersaing antara PKS dan PDIP, maka faktor identitas agama ini akan muncul. Tapi kalau, misalnya, yang bersaing adalah PDIP dengan Nasdem, faktor ini menjadi kurang penting.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor santri, abangan, dan priyayi tidak penting.
“Tesis Clifford Geertz yang melihat tipologi priyayi, santri dan abangan mempengaruhi perilaku politik, data SMRC tidak menunjukkan itu,” jelas Saiful.
Sementara intensitas beribadah di rumah ibadah memiliki hubungan signifikan dengan perilaku politik warga, tapi terbatas pada PKS dan PDIP. Salat lima waktu juga demikian, berpengaruh tapi terbatas.
“Jadi kalau pertanyaannya apakah religiusitas itu memiliki pengaruh dalam perilaku politik? Punya, tapi terbatas,” terang Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta ini.
Saiful melanjutkan bahwa kalau agama betul-betul tidak penting dalam politik, tidak mungkin ada partai seperti PKS. Kenyataannya ada, tapi kekuatannya terbatas. Selama ini, partai agama seperti PKS tidak pernah mendapatkan dukungan dalam Pemilu menembus dua digit, selalu di bawah 10 persen. Demikian pula partai Islam lain seperti PPP.
Apakah kecenderungan orientasi politik masyarakat Indonesia nasionalis? Saiful menyatakan, ya. Itu yang menjelaskan, kata dia, mengapa yang mendapatkan suara terbesar dalam setiap Pemilu adalah partai-partai nasionalis, yang orientasi keagamaannya moderat, walaupun religius.
Doktor lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, ini menekankan bahwa pengaruh religiusitas dalam politik Indonesia memang ada, tapi terbatas. Kalau pengaruhnya besar, maka partai-partai seperti PKS akan membesar. Tapi sejauh ini, sejak Pemilu 1955, kekuatan politik identitas Islam semakin kecil. Dulu pada Pemilu pertama, 1955, gabungan partai-partai Islam di parlemen sekitar 46 persen. Sementara sekarang partai yang kelihatan kuat Islamnya hanya PKS dan PPP. Kalau dijumlahkan tidak lebih dari 15 persen.
“Artinya dari waktu ke waktu, kecenderungan politik Islam makin kurang kuat. Walaupun masyarakatnya cenderung religius,” pungkasnya. (AP)