Yulius pun mendorong pelaku usaha untuk beralih ke sektor formal agar akses pembiayaan lebih mudah didapat. Upaya ini, kata Yulius, dapat ditempuh dengan mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) agar legalitas bisnis tercatat oleh pemerintah.
“Kita saat ini sedang mendorong supaya UMKM pindah dari informal ke formal, karena saat ini masih sebagian besar UMKM bekerja di informal dan saat ini jumlah NIB sudah mencapai mencapai lebih dari 17 juta usaha mikro. Nah, ini kita harapkan makin bertambah, kenapa begitu? Dengan pindahnya ke formal, maka mereka akan lebih mudah untuk dapat mengakses perbankan, dan tentunya formal dan informal kita butuh dari holding company untuk melakukan pembinaan dan lainnya,” jelas Yulius.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari menyatakan bahwa dengan mengantarkan pelaku usaha ultra mikro ‘naik kelas’, ekonomi Indonesia dapat terakselerasi dengan optimal. Hal ini sejalan dengan potensi sektor ultra mikro tersebut dalam lanskap UMKM di Indonesia.
“Kita sering mendengar angka 64 juta unit usaha, kita juga sering mendengar 98% diantaranya adalah pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Saya mencoba untuk memetakan seberapa besar sesungguhnya ultra mikro, ternyata dari 98% itu 81,8% adalah ultra mikro,” ujar Supari.
Maka dari itu, upaya BRI bersama PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan PT Pegadaian di Holding Ultra Mikro dapat memperluas jangkauan untuk melayani lebih banyak nasabah. Target ini juga tertuang dalam Visi BRI untuk menjadi The Most Valuable Banking Group in South East Asia & Champion of Financial Inclusion pada tahun 2025.
“Ke depan itu bukan literasi tapi inklusi dulu, berikan akses dulu baru di situlah nanti ada sebuah motivasi mau belajar. Sekarang inklusi Indonesia itu cuma 76%, kita akan dorong menjadi 90% di tahun 2024,” pungkas Supari.(AP)