Mama Erna dari Desa Beja juga meyakini desanya yang sulit air akan berubah di masa depan karena ia dan kelompok pelopor bambu sudah menanam ribuan bibit bambu di lahan kritis. Ia berharap ada pengembangan program dengan tambahan keterampilan pengolahan bambu jadi kerajinan atau mengolah rebung.
“Selama ini hanya buat kandang, atap rumah, dinding. Perlu pelatihan pemanfaatan bambu yang misal anyaman dan kerajinan. Berharap pemasaran selongsong bambu dan pengolahan tunas bambu, rebung. Selama ini hanya sayur dan sambal,” katanya bersemangat.
Desy Ekawati dari Badan Standarisasi Instrumen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut para Mama Bambu adalah bagian penting dari gerakan besar desa bambu. Ia mengatakan Pemprov NTT dan Kemenkomarves sudah mendukung. Karena itu perlu ada kelanjutan pemanfaatan dan membangun visi desa bambu. Pengalaman para mama membuktikan peningkatan peran mama dalam keluarga dan lingkungan.
Yuvensius Stevanus Nonga dari Walhi NTT mengapresiasi semangat Hari Kartini dari para Mama Bambu.
“Masih banyak cara pandang patriarkhi menganggap perempuan tidak menghasilkan. Melestarikan bambu, juga melestarikan kuasa perempuan atas budaya lokal,” katanya. Tradisi Ngada adalah perempuan sebagai pewaris. Apalagi perempuan terlibat dari proses perencanaan sampai pelaksanaan, para mama dinilai berpartisipasi penuh.
Pendeta Mery Kolimon, Gereja Masehi Injili di Timor menyatakan sangat ingin belajar dari Mama Bambu. Ia menyebut gereja berperan penting dalam isu lingkungan dan sosial dan mengundang para mama bambu untuk mengajarkan pembibitan bambu pada perempuan lain di Timor, Alor, Rote, dan Sabu.
“Siklon Seroja merusak alam, ratusan rumah rusak. Bagaimana berdamai dengan alam, gereja juga melakukan pemulihan alam. Minta mama di Ngada jadi guru untuk tanam bambu,” katanya.
Menurutnya masalah krisis air adalah beban ganda perempuan. Bambu bisa jadi salah satu solusi untuk mengurangi beban ini. Dampak beban ganda ini adalah makin banyak buruh migran jadi korban perdagangan orang.
“Harapan ada di desa, merawat alam. Kalau pergi jadi pekerja migran risiko perbudakan. Kalau kerja di kampung sendiri, karena kultur matrilinial, perempuan kuat dan berdaya,” lanjut Pendeta Mery.
Dian Kartika Sari, konsultan gender dan inklusi sosial YBL merangkum pengalaman hidup para Mama Bambu yang menciptakan perubahan. Para mama tak hanya jadi pemimpin, juga belajar demokratis, berkumpul, dan negosiasi. Mereka memiliki kemampuan menyuarakan kepentingan dan hak berpendapat. Perubahan terjadi di tingkat mama sebagai individu, keluarga, dan di masyarakat karena bisa menghasilkan bambu untuk lingkungan dan ekonomi masa depan.
Pelestarian rumpun bambu di NTT adalah kisah panjang. Salah satunya adalah inisiatif Linda Garland, pendiri YBL pada 1993 yang merespon bencana gempa dan tsunami di Flores pada 1992 dengan membuat gerakan penanaman satu juta bambu bersama pemerintah daerah. Perjalanan ini dilanjutkan putranya, Arief Rabik dengan program 1000 desa bambu.
Sebanyak 388 perempuan atau mama di 21 desa pada 7 kabupaten di Flores terlibat dalam program pembibitan bambu ini dan pada 2021 mereka menghasilkan 2,5 juta bibit untuk melestarikan kembali lahan kritis. Program ini didukung pendanaannya oleh Pemprov NTT dan sejumlah kolaborasi dengan lembaga lain.
Selain pembibitan, ada juga kelompok mama yang membuat alternatif wadah bibit pengganti plastik polybag dengan serat alami seperti anyaman bambu dan daun pisang. Bambu juga diyakini mampu menyimpan karbon untuk mengurangi emisi di atmosfer sebagai bagian dari aksi mengurangi krisis iklim global.(Fd)