Sehingga ada 10 desa yang lolos. Diantaranya Kelurahan Oesapa Selatan, Desa Napan, Desa Wologai Tengah, Desa Ombarade, Desa Tunbaun, Desa Besmarak, Desa Bloro, Desa Kolobolon, Desa Neke dan terakhir Desa Kabuna. Desa-desa ini dipublikasi secara acak.
Masih dalam diskusi yang kian menukik, setiap juri ditantang mempertahankan argumentasi mereka, mengapa memberi skor yang tinggi pada setiap nominator. Terutama dari sisi kelembagaan setiap nominator. Apakah setiap unit usaha disana memiliki badan hukum, dan diproteksi secara baik dengan regulasi seperti Peraturan Desa atau sejenisnya, ataukah tidak.
Bahkan juri diminta menunjukkan bukti legalitas itu sebagai pertanggungjawaban atas keputusan memberi skor. Usai di tahapan ini, diputuskanlah lima desa dengan skor tertinggi. Adapun kelima desa itu (yang dipublikasi secara acak) yakni Desa Tumbaun, Desa Napan, Kelurahan Oesapa Selatan, Desa Wologai Tengah, dan Desa Ombarade. Untuk menentukan desa mana sebagai juara satu hingga tiga, sekali lagi juri yang turun ke desa-desa ini, diminta untuk mempresentasikan temuan mereka, mengenai peranan Bank NTT khususnya, ratio digitalisasi maupun elektronifikasi dari sistem pembayaran di sana.
Bahkan, sejauh mana desa-desa ini memiliki akses dengan Bank NTT. Kian seru manakala ada juri yang sampai mempresentasikan total transaksi pada unit usaha Bumdes/Koperasi yang ada di desa kandidat juara.
“Dari kelima desa ini, juri pun akhirnya memilih tiga terbaik dan satu desa favorit yang tidak termasuk dari kelima desa ini. Mengenai desa mana sebagai juara, baru akan diumumkan pada perayaan HUT NTT pekan depan di Sumba Barat Daya. Terimakasih kepada seluruh desa yang sudah ikut berpartisipasi dalam Festival Desa Binaan Bank NTT tahun 2022 ini, apa yang sudah dilakukan agar dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan,”tegas Prof. Dr. Intiyas Utami, SE, M.Sc., Ph.D selaku ketua tim juri, yang juga Rektor UKSW yang baru menjabat beberapa pekan terakhir. (Humas Bank NTT)