Kupang, NTTPedia.id,- Kawin tangkap merupakan budaya yang terjadi turun temurun di Pulau Sumba. Namun dalam perkembangannya, budaya kawin tangkap ini acapkali berubah menjadi kawin culik. Kawin culik ini selalu menjadikan perempuan sebagai korban ekploitasi bertopeng adat istiadat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, budaya kawin culik di pulau Sumba marak terjadi.
Terhadap hal ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi NTT memberi perhatian khusus. Beberapa kasus yang terjadi di kabupaten Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, Dinas PPPA NTT turun melakukan mediasi, pendampingan dan perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi korban ekploitasi kawin culik.
Kepala Dinas PPPA NTT, drg. Iien Adriany M.Kes mengatakan pihaknya terus melakukan pemantaun dan pendampingan apabila ditemukan dilapangan terjadi kawin culik. Kawin culik itu kata dia selalu menjadikan perempuan sebagai korban. imbasnya kata dia, kawin culik itu juga berdampak terhadap ketahanan rumah tangga karena dalam prosesnya, perempuan dipaksa untuk ikut dengan laki-laki tanpa melalui proses yang lumrah dalam adat istiadat setempat seperti budaya kawin tangkap yang didahului dengan seremoni adat antara kedua pihak keluarga.
” Kawin tangkap ini sebenarnya budaya yaitu sesuatu hal yang terjadi karena perkembangan sosial budaya. Budaya kawin tangkap di Sumba, contoh kasus yang terjadi di Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah, kita sudah launching untuk menghentikan kawin tangkap bersama Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak tapi kasus tersebut masih tetap ada,” kata drg.Iien Adrian
Ia mengatakan ada beberapa kasus murni penculikan tetapi ketika mereka berkasus, mereka selalu berdalih kawin tangkap. Padahal sejarahnya kawin tangkap selalu ada pembicaraan antara kedua belah pihak bukan diculik ditengah jalan baru dibawa begitu. ia mengatakan harus ada pembicaraan dengan keluarga masing-masing baru dilakukan seremonial adat.
Dijelaskannya perempuan tidak bisa dipaksa kawin apalagi ditangkap dan ditarik-tarik ditengah jalan. ha itu tidak boleh. Perkawinan ini harus dengan sukarela untuk membina rumah tangga. Bagaimana mau membina rumah tangga kalau prosesnya dari awalnya saja sudah dipaksa.