Kupang, NTTPedia.id, – Kantor Otoritas Jasa Keuangan (NTT) berdiri cukup megah di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun keberadaannya tidak membuat pada pelaku investasi bodong takut dengan OJK, yang salah satunya bertugas untuk memberantas keberadaan investasi ilegal.
Tugas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU No. 21 Tahun 2011 adalah melakukan pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, lasar modal, serta sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Selain itu, OJK juga memiliki tugas utama untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan memberikan perlindungan kepada konsumen serta masyarakat.
Ada beberapa aplikasi investasi bodong yang sudah “memakan” uang warga NTT. Ada dua investasi bodong yang sudah ditulis oleh NTTPedia.id yaitu Riset Car dan VIR Indonesia dalam tahun ini. Riset Car melakukan rekruitment anggota dengan modus penyewaan mobil tanpa awak yang berbasis di Amerika. Korban terbanyak aplikasi ini ada di Kota Kupang dan Sabu Raijua. Meski ada di kabupaten lainnya di NTT, namun para korban hanya bisa pasrah digondol maling digital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu Aplikasi VIR Indonesia dalam modus operandinya, menipu anggotanya dengan program daur ulang sampah. Para anggota diminta menyetorkan uang pembelian paket dengan return yang sangat menggiurkankan. Pada akhirnya dua aplikasi adalah skema ponzy.
Tentu bukan hanya dua aplikasi ini saja yang sudah menipu warga NTT yang masih dikenal dengan angka kemiskinan yang tinggi. Namun untuk investasi bodong, bisa jadi NTT meraih peringkat utama sebagai provinsi yang paling banyak menjadi korban penipuan dengan jumlah kerugian milyaran rupiah.
Terkait hal itu, Akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Ricky Ekaputra Foeh, S.Pd. MM, kepada NTTPedia.id mengatakan maraknya kasus investasi bodong tidak selalu berarti OJK tidak berfungsi tetapi menunjukkan adanya keterbatasan struktural dalam pengawasan di daerah. NTT memiliki wilayah yang luas dan banyak daerah terpencil, yang sulit dijangkau oleh pengawasan konvensional.
Para pelaku kata Ricky, selalu lebih lincah dilapangan dalam melakukan aksinya. Pelakui investasi bodong ujarnya, selalu memanfaatkan media sosial, grup percakapan, dan jaringan komunitas lokal sebagai medium yang bergerak cepat, dinamis, dan sering kali berada di luar jangkauan regulasi formal.
” Meskipun satgas pengawas sudah dibentuk, sifat investasi ilegal yang mudah berpindah, memakai identitas palsu, dan beroperasi secara digital membuat penegakan hukum sering tertinggal, ” ujarnya.
Dijelasknya, masalah utama bukan hanya pada efektivitas regulasi tetapi juga pada kurangnya edukasi publik dan minimnya literasi digital dan keuangan. Tanpa masyarakat yang kritis, upaya pengawasan OJK tidak akan optimal.(AP)















