Opini Darryl Fazle Mawla (Mahasiswa Fakultas Teknik Pertambangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
NIM : 11220980000025
Minyak bumi merupakan campuran kompleks senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon dan nonhidrokarbon yang berasal dari sisa-sisa mikroorganisme, tumbuhan, dan binatang yang tertimbun selama berjuta-juta tahun. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fase cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari proses penambangan
Migas pertama kali ditemukan oleh bangsa Cina pada tahun 347 setelah masehi. Hanya bermodalkan bambu, mereka mampu mengebor hingga kedalaman lebih dari 800 kaki dan mendapatkan migas untuk pertama kali.
Pada tahun 1920 – 1940 perkembangan dunia migas mengalami percepatan. Hal tersebut ditunjukkan dengan dimulainya pengeboran off-shore dan perhatian khusus terhadap penanggulangan bencana-bencana yang mungkin terjadi dalam eksplorasi. Selanjutnya, pada tahun 1981, pertama kalinya sumur migas off-shore dibor dengan bentuk horizontal. Saat ini, dunia migas terus beranjak naik. Teknologinya pun terus berkembang demi menjawab tantangan – tantangan dalam dunia migas.
Tahun ini, masyarakat Indonesia perlahan mulai diperkenalkan dengan berbagai teknologi ramah lingkungan seperti penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang dipercaya akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki keseimbangan terhadap emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer dan jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi atau Net Zero Emission.
Seperti yang dijelaskan dalam acara Special Event Road to G20 by HIMPUNI, Selasa (25/10/2022), secara virtual Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa isu krisis energi harus ditangani tanpa mengorbankan proses transisi energi.
“Transisi energi harus adil, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua orang. Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat dan target tersebut tidak boleh tergelincir,” ungkap Menko Airlangga pada kesempatan tersebut.
Lalu seperti yang disampaikan juga oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif berkaitan dengan lingkungan dan ketegasan menjalankan misi tersebut membutuhkan daya dukung transisi energi sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang optimal.
“Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT,” jelas Arifin saat menyampaikan pandangannya pada Ministrial Talks, dalam rangkaian agenda Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, UK, Senin (1/10).
Lantas, apakah dengan adanya target transisi energi pada tahun 2060 ini, Indonesia akan meninggalkan energi fosil seperti minyak bumi dan gas alam, dan beralih ke energi yang lebih terbarukan?
Menurut akademisi sektor perminyakan Rudi Rubiandini berpendapat bahwa, meski transisi energi terus digadang-gadang oleh pemerintah, namun minyak dan gas (migas) tak akan pernah terganti. Dia berpandangan bahwa adanya energi terbarukan merupakan upaya untuk saling melengkapi, bukannya mengganti.