Saiful Mujani Sebut Presidential Threshold Menyimpang Dari Prinsip Presidensialisme, Tidak Ada Dalam Konstitusi

- Jurnalis

Kamis, 12 Mei 2022 - 19:58 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta, NTTPedia.id,- Ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold yang berdasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR menyimpang dari prinsip presidensialisme. Hal ini dikatakan oleh ilmuan politik, Prof. Saiful Mujani, pada program ‘Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ episode “Calon Presiden Tanpa Ambang Batas?” yang tayang di kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 12 Mei 2022.

Saiful Mujani menjelaskan bahwa dalam sistem presidensial yang sebenarnya, tidak ada hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden dan tidak ada ambang batas pencalonan presiden atas dasar hasil pemilu legislatif, sehingga seharusnya ada lebih banyak figur yang bisa masuk dalam pemilihan presiden. Saiful mencontohkan pada pemilihan presiden di Prancis yang baru selesai, jumlah calon presidennya 12 pasangan. Padahal Prancis tidak menganut sistem presidensial murni, mereka menganut sistem semi presidensial, campuran antara parlementarisme dengan presidensialisme. Itu pun pencalonan presidennya cukup terbuka.

“Tidak ada threshold yang besar seperti di Indonesia. Walaupun yang dimuat oleh media hanya Macron dan Le Pen, tapi sebenarnya ada 12 pasangan calon,” kata Saiful.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di Amerika Serikat, lanjutnya, negara yang menjadi model sistem presidensialisme dunia, syarat untuk menjadi calon presiden cukup sederhana: yang penting dia kelahiran Amerika, tinggal tetap di Amerika minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal. Tidak ada syarat lain, misalnya harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di Kongres atau DPR seperti di Indonesia. Bisa begitu saja seseorang menyatakan diri sebagai calon presiden. Kalau dia menghabiskan dana lebih dari 5 ribu dollar dalam kampanye, maka ia diharuskan daftar ke KPU. “Begitu sederhana,” tutur Saiful.

Baca Juga :  Dihadapan Menteri, Prof. Apris Adu Paparkan Strategi Transformasi Undana Dari Kampus ke Ekonomi Sosial 

“Pada pemilihan presiden Amerika Serikat terakhir, pada 2020, yang banyak diketahui hanya Trump melawan Biden, padahal calon yang maju ada 36 pasangan,” terang Saiful.

Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri ini menyatakan bahwa secara konstitusional, peluang untuk memperluas pencalonan presiden ada. Karena threshold 20 persen, 15 persen, 4 persen, atau 0 persen tidak tercantum di dalam konstitusi. Itu adalah aturan dalam undang-undang. Itu merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi. Dalam konstitusi, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi.

Menurut Saiful, kata-kata “diusulkan oleh partai politik” diterjemahkan oleh partai-partai politik di DPR menjadi harus 20 persen, sebelumnya pernah lebih kecil, 15 persen pada pilpres 2004. Saiful melanjutkan bahwa akibat tingginya presidential threshold, 20 persen, maka peluang untuk mendapatkan calon-calon yang lebih “fresh” atau yang lebih diharapkan menjadi terbatas.

Lebih jauh, pendiri Saiful Mujani Research and Consulting ini menjelaskan bahwa dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), calon independen dibolehkan. Karena konstitusi menyatakan bahwa gubernur, walikota, dan bupati dipilih secara demokratis. Tidak ada kata-kata diajukan oleh partai. Sementara untuk presiden, konstitusi menyebut secara spesifik harus diajukan oleh partai politik.

Baca Juga :  Hadapi Tantangan Global, Ilmuwan dan Pengambil Kebijakan Berkolaborasi di Konferensi IRSA 2024

Fakta bahwa pilkada membolehkan calon independen, pada pilpres harusnya lebih boleh lagi. Menurut Saiful, hirarki atau tingkat pentingnya mestinya pada pemilihan presiden lebih tinggi dibanding pada pemilihan kepala daerah. Mestinya inklusivitas pemilihan presiden lebih kuat dibanding pilkada hingga punya legitimasi demokratik lebih kuat. Kenyataannya tidak. Di situ ada persoalan dalam konstitusi kita.

“Okelah sebagai sebuah kompromi, calon presiden diajukan oleh partai politik, tapi jangan dengan ambang batas 20 persen, dong,” tegasnya.

Menurut Saiful, karena tidak ada aturan yang eksplisit di konstitusi tentang keharusan threshold, calon presiden cukup diajukan oleh partai politik, yakni partai manapun yang diakui oleh negara, yang terdaftar di Menkumham. Bahkan partai-partai yang tidak lolos ke Senayan pun seharusnya punya hak untuk mencalonkan seseorang jadi presiden seperti di negara-negara lain yang menganut sistem presidensial yang normal.

Menurut dia, Indonesia menganut sistem presidensialisme, tapi didikte oleh parlemen atau partai politik. Dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia atau Amerika Serikat, eksistensi presiden itu independen dari parlemen sejak ia menjadi calon. Tidak boleh tunduk pada parlemen. Presiden seperti parlemen secara langsung bertumpu pada rakyat, dipilih langsung oleh rakyat, mendapat mandat langsung dari rakyat.(Fdz)

Berita Terkait

Investasi Bodong Menggurita di NTT, OJK Ada Dimana? 
Prof. Apris Dorong RS Undana Kerja Sama dengan BPJS dan Maksimalkan BPU untuk Tingkatkan Pendapatan Non-Akademik
Dihadapan Menteri, Prof. Apris Adu Paparkan Strategi Transformasi Undana Dari Kampus ke Ekonomi Sosial 
Setelah Satu Dekade, Forum Melanesia Kembali Hidup di NTT Pada Era Gubernur Melki Laka Lena
BRI Pacu Legalitas dan Pembiayaan UMKM NTT, 1.200 Pelaku Usaha Hadiri Festival FKPUM di Kupang
Wali Kota Kupang Christian Widodo Jadi Keynote Speaker di Konferensi Kota Dunia 2025 di Shanghai
Prabowo-Gibran Diminta Pulihkan Kepercayaan Dunia Usaha lewat Regulasi yang Pasti
Prabowo Tidak Pandang Bulu Berantas Korupsi Selama Setahun Jadi Presiden

Berita Terkait

Senin, 17 November 2025 - 07:36 WIB

Investasi Bodong Menggurita di NTT, OJK Ada Dimana? 

Sabtu, 15 November 2025 - 20:01 WIB

Dihadapan Menteri, Prof. Apris Adu Paparkan Strategi Transformasi Undana Dari Kampus ke Ekonomi Sosial 

Rabu, 12 November 2025 - 09:46 WIB

Setelah Satu Dekade, Forum Melanesia Kembali Hidup di NTT Pada Era Gubernur Melki Laka Lena

Kamis, 30 Oktober 2025 - 18:31 WIB

BRI Pacu Legalitas dan Pembiayaan UMKM NTT, 1.200 Pelaku Usaha Hadiri Festival FKPUM di Kupang

Senin, 27 Oktober 2025 - 07:58 WIB

Wali Kota Kupang Christian Widodo Jadi Keynote Speaker di Konferensi Kota Dunia 2025 di Shanghai

Berita Terbaru

Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTT yang beralamat di Jalan Frans Seda, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Foto :Internet

Hukrim

Investasi Bodong Menggurita di NTT, OJK Ada Dimana? 

Senin, 17 Nov 2025 - 07:36 WIB