Kupang, NTTPedia.id,- Anak-anak, sebagai aset bangsa dan masa depan Indonesia, memerlukan perlindungan menyeluruh dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi dan pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan ini penting untuk memastikan pertumbuhan fisik, mental, dan sosial anak, yang pada gilirannya akan menentukan masa depan bangsa.
Anak-anak, termasuk anak penyandang disabilitas, harus mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 8 Tahun 2016. Undang-undang tersebut mengamanatkan perlindungan khusus terhadap anak penyandang disabilitas, termasuk hak atas pendidikan, perlindungan dari kekerasan, dan perlakuan manusiawi. Selain itu, pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas dan pendidikan inklusif serta memberikan perlindungan dari diskriminasi dan eksploitasi terhadap anak.
Dengan menggarisbawahinya, bahwa perlu adanya komitmen dan koordinasi antara lembaga pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, keluarga, pemangku agama dan semua pemangku kepentingan untuk memastikan pemenuhan hak dan perlindungan anak, termasuk bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus”.
Demikian sambutan Ruth Diana Laiskodat, S. Si., Apt., M. M., selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam Kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rangka Melindungi Hak Anak Dan Mencegah Kekerasan Terhadap Anak, Termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas P3AP2KB Provinsi NTT, Pada Kamis, 29 Agustus 2024.
Ia mengatakan Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kekerasan terhadap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, serta memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk kekerasan dan dampaknya.
“Melalui inisiatif ini, diharapkan masyarakat, terutama orang tua, guru, dan tokoh masyarakat, akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai risiko dan dampak negatif dari kekerasan. Selain itu, diharapkan tumbuh kesadaran akan pentingnya melindungi anak dari kekerasan fisik, psikologis, dan verbal, serta terjadi perubahan sikap positif dalam lingkungan keluarga dan masyarakat,” jelasnya.
Dan untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, kami berupaya menghadirkan teman-teman yang menggunakan bahasa isyarat dalam setiap kegiatan edukasi. Kami juga mendorong Pegawai DP3PAP2KB Provinsi NTT untuk mempelajari bahasa isyarat, setidaknya kalimat sederhana seperti “terima kasih” dan ungkapan kasih sayang lainnya, guna meningkatkan komunikasi dan inklusivitas”, jelas Ruth Diana Laiskodat, saat menyajikan materinya tentang Kebijakan, Strategi dan Program Kegiatan Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB Provinsi NTT.
Anak-anak NTT yang cerdas perlu mendapatkan hak mereka. Kasus kekerasan, termasuk kekerasan fisik, psikis, dan pelecehan seksual, data kasus kekerasan yang terus meningkat menunjukkan perlunya tindakan lebih lanjut, harus dilaporkan melalui saluran yang sudah tersedia maka jangan segan-segan untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum (APH), atau datang langsung ke UPTD PPA Provinsi NTT di Jl. Beringin No.1, Fontein, Kec. Kota Raja, Kota Kupang, bisa juga sekarang ini dari Kementerian PPA Republik Indonesia telah menyiapkan Call Center SAPA 129, laporkan ke sana, untuk ditangani tanpa dipungut biaya ataupun melalui nomor WhatsApp 08111 129129”, pesan Ruth dalam penjelasannya.
Pada kesempatan yang sama France Abednego Tiran, SS, selaku Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak mengatakan Pendekatan yang lebih aman dan suportif dalam mendidik dan berinteraksi dengan anak juga diharapkan dapat diterapkan, dan masyarakat diharapkan dapat bekerja sama dengan lembaga atau organisasi terkait untuk menangani dan melaporkan kasus kekerasan terhadap anak dengan lebih efektif.
France Abednego Tiran mengatakan hal itu ketika menyampaikan laporan panitia pelaksana kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap Anak, bertempat di Gedung Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Jemaat Benyamin Oebufu Klasis Kota Kupang Timur, Jalan Rukun Nomor 1 Kelurahan Oebufu, Kota Kupang.
Ia mengatakan Sosialisasi dengan melibatkan kolaborasi dari pemangku kepentingan yang berperan penting dalam memperjuangkan perlindungan anak ini, penting untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak dan mencegah kekerasan, terutama anak yang berkebutuhan khusus.
“Penting untuk memulai perlindungan anak dari lingkungan keluarga dengan memastikan bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, diperlakukan sama dan setara. Sistem Peradilan Ramah Anak dan berbagai strategi perlindungan lainnya menjadi krusial untuk memastikan hak-hak anak terlindungi. Di NTT, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan Indeks Perlindungan Anak (IPA) agar perlindungan dan kesejahteraan anak dapat lebih terjamin, bertujuan untuk mencapai Indonesia Layak Anak pada 2030 mendatang,” jelasnnya.
Melalui berbagai kegiatan edukasi, seperti program DP3AP2KB Goes to School yang telah dilaksanakan di beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Luar Biasa (SLB), serta kerja sama dengan media seperti Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) Provinsi NTT melalui podcast yang membahas perlindungan anak. Kami juga melibatkan gereja, dan tokoh masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan layak bagi anak-anak terutama anak berkebutuhan khusus (ABK).anak,” lain Kadis P3AP2KB Provinsi NTT, Veronika Ata, S.H., M. Hum, selaku Ketua Lembaga Perlindungan Anak Provinsi NTT, juga tampil sebagai narasumber, dengan materi “Peran dan Upaya Lembaga Perlindungan Anak dalam Pencegahan Kekerasan terhadap anak.
Ia menjelaskan Peran LPA NTT dalam pencegahan meliputi berbagai kegiatan penting. Mereka melakukan kampanye dan promosi hak anak melalui dialog publik, workshop, diskusi, serta penerbitan buku dan leaflet mengenai hak anak, stop kekerasan terhadap anak, dan bahaya trafficking. Selain itu, LPA NTT menyelenggarakan pelatihan konseling bagi pendamping anak di rumah ibadah seperti gereja dan masjid serta melakukan sosialisasi tentang sekolah ramah anak dan tempat ibadah ramah anak
LPA NTT juga mengadakan sosialisasi hak anak kepada siswa dan mahasiswa di perguruan tinggi di NTT seperti UNDANA, UNWIRA, dan UNKRIS, melakukan diskusi dan dialog mengenai parenting atau pengasuhan positif dilakukan melalui berbagai media seperti radio dan media sosial. Kami juga bergabung dalam tim pakar DPRD Provinsi untuk menyusun naskah akademik dan peraturan daerah tentang perlindungan anak dan perlindungan disabilitas. Selain itu, LPA NTT melakukan advokasi hak anak melalui media cetak dan elektronik, termasuk koran, radio, dan televisi, serta melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram”, papar Kepala LPA yang kerap disapa Ibu Tori.
Lebih lanjut ia mengatakan Dalam penanganan kasus, LPA NTT memberikan konsultasi hukum, pendampingan dengan psikolog, serta membangun mekanisme rujukan ke lembaga mitra. Dalam hal ini juga peanganan khusus dilakukan untuk anak difabel dan korban kekerasan seksual, termasuk rujukan ke Rumah Harapan dan koordinasi dengan pihak sekolah, psikolog serta kepolisian.
Psikolog Klinis dan akademisi Progam Studi Psikologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FLKM) Universitas Nusa Cendana Kupang, Zerlinda Christine Aldira Sanam, M.Psi mengajak semua pihak mari kita semua, jadilah sahabat anak dalam setiap situasi, terutama ketika mereka menghadapi kekerasan atau diskriminasi. Jika Anda menyaksikan atau mengetahui adanya perlakuan tidak adil terhadap anak, penting untuk berbicara dan berani melapor. Dukungan Anda dapat membantu memastikan bahwa masalah tersebut ditangani dengan serius dan bahwa anak mendapatkan perlindungan serta keadilan yang mereka butuhkan”, pesan ibu Tori dalam sosialisasi yang juga menghadirkan Psikolog, selaku
Selain pencegahan, penanganan juga sangat diperlukan untuk membantu korban kekerasan dalam proses pemulihan mereka. Penanganan yang efektif melibatkan dukungan psikologis awal dari orang terdekat, yang termasuk mendengarkan dengan empati, menciptakan lingkungan yang aman, dan membantu korban mengakses sumber daya tambahan seperti layanan psikologis dan bantuan hukum.
“Dukungan Psikologis Awal (DPA) dari orang terdekat sangat krusial dalam pemulihan korban kekerasan. Ini meliputi mendengarkan dengan empati, menciptakan lingkungan yang aman, dan menunjukkan dukungan emosional nyata seperti pelukan dan perhatian konsisten. Orang terdekat juga harus membantu mengakses sumber daya tambahan seperti layanan psikologis dan bantuan hukum, serta menghindari menyalahkan korban. Dukungan praktis, termasuk bantuan sehari-hari dan perawatan medis, juga penting. Jika diperlukan, dorong korban untuk mencari bantuan profesional untuk penanganan lebih lanjut. Dukungan yang tepat mempercepat proses pemulihan dan membantu korban mengatasi dampak psikologis kekerasan”, ujarnya .
Anak berada dalam berbagai lingkungan yang mempengaruhi perkembangan mereka, sehingga penting untuk memahami konteks di mana mereka beraktivitas. Untuk mencegah kekerasan terhadap anak, kita perlu memperhatikan sistem yang mengelilingi anak, termasuk keluarga, sekolah, dan komunitas. Melibatkan semua pihak dalam sistem ini membantu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung, yang esensial untuk mencegah terjadinya kekerasan dan memastikan kesejahteraan anak”, pungkas Zerlinda Sanam.
Pencegahan kekerasan terhadap anak, terutama yang berkebutuhan khusus, memerlukan pendekatan yang holistik. Ini melibatkan peningkatan kesadaran orang tua, pendidik, dan masyarakat tentang tanda-tanda kekerasan serta menciptakan pola asuh yang aman dan inklusif.
Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk lebih memperhatikan kebutuhan kelompok penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak-hak mereka. Penting untuk memastikan bahwa lingkungan sekitar dan kehidupan sehari-hari mereka mendukung aksesibilitas penuh, mulai dari fasilitas, sarana, dan prasarana yang memadai, hingga kesempatan yang setara dalam mendapatkan pekerjaan. Selain itu, memastikan bahwa kelompok rentan ini terlindungi dari tindak kekerasan dalam bentuk apapun, menciptakan lingkungan yang inklusif dan aman agar mereka dapat berpartisipasi secara aktif dan setara dalam berbagai aspek kehidupan.
Kegiatan yang mencakup sesi diskusi guna memberikan kesempatan untuk mendalami topik dan berdiskusi tentang langkah-langkah pencegahan yang efektif serta memberikan pre-test dan post-test untuk mengevaluasi pemahaman peserta tentang pencegahan kekerasan terhadap anak termasuk Anak Berkebutuhan Khusus.
Kegiatan sosialisasi tersebut dipandu oleh Moderator, Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak, DP3AP2KB Provinsi NTT, France A. Tiran. Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh 40 orang peserta yang adalah Pemangku Kepentingan Pengampuh Anak, diantaranya : Sekretaris Bidang Pelayanan Anak, Remaja dan Taruna (PART), Lansia dan Kaum Perempuan Sinode GMIT, Pdt. Melsy Thelik-Mooy, Mariaman sebagai perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT, Perwakilan Perkumpulan Umat Buddhis Indonesia (Permabudhi) NTT, Bayu Sughandhi, Perwakilan Dinas Sosial Provinsi NTT, Kasiah, Perwakilan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Fina Bete selaku Ketua Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani (PERSANI) Nusa Tenggara Timur, Perwakilan Gerakan Advokasi dan Transformasi Disabilitas untuk Inklusi (GARAMIN) Nusa Tenggara Timur, Kepala Sekolah SLB Negheri Kota Radja, Edy Wahon, Para Mentor Pusat Pengembangan Anak (PPA) Jemaat GMIT Benyamin Oebufu, Kepala SLB Negeri Pembina Penfui dan Perwakilan Guru dari SLB Asuhan Kasih, Perwakilan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTT, Perwakilan dari Tempat Penitipan Anak (TPA) PAUD HI Setda Provinsi NTT.(Rilis)