Marthen Dira Tome dan Jejak Karya di Pulau Para Dewa

- Jurnalis

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 08:16 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Marthen Dira Tome ketika berada di lahan garam. Ia melibatkan ratusan pekerja yang berasal dari lokasi sekitar tambak. Foto Joey Rini Ga

Marthen Dira Tome ketika berada di lahan garam. Ia melibatkan ratusan pekerja yang berasal dari lokasi sekitar tambak. Foto Joey Rini Ga

Siang itu, Rabu (17/9/2025), Rumah Makan Solaria di kompleks Flobamora Mall, Kupang, tampak ramai. Udara panas tak menyurutkan keriuhan di setiap meja yang dipenuhi pengunjung yang tengah menikmati santap siang mereka. Letaknya yang strategis di tengah kota menjadikan Solaria menjadi destinasi kuliner bagi para pekerja dan ASN di sekitar situ.

Di meja paling ujung dekat pantry, dua meja panjang dipenuhi para jurnalis yang sehari-hari meliput di desk Polkam Kantor Gubernur NTT. Beberapa pengunjung berbaju Korpri terlihat menyalami Marthen Dira Tome dengan hangat.

Beberapa senior seperti Abang Goen Yos Diaz, Ama Joey Rihi Ga, Mbak Retno Irawati, Unu Jeffry Taolin, Opu Rian Dea politisi Partai Prima, Jeffry Tapobali serta adik leting saya Andyos Manu dan Yanto Gromang tampak bercengkrama akrab dengan mantan Bupati Sabu Raijua itu. Perjumpaan semacam ini bukanlah yang pertama. Sudah beberapa kali Marthen Dira Tome mengundang wartawan untuk berdiskusi sambil menikmati nasi goreng seafood, menu yang selalu saya kritik secara diam-diam. Tapi selalu jadi menu andalan mereka setiap kali berjumpa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Suasana diskusi sambil menunggu santap siang bersama Marthen Dira Tome

Marthen senang berdiskusi dengan wartawan. Topiknya beragam, tapi selalu bermuara pada nasib rakyat kecil dan dinamika pembangunan di provinsi yang masih dicap miskin ini. Ia jarang bicara soal nasib politiknya, tetapi selalu gelisah memikirkan bagaimana rakyat bisa hidup layak di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat.

Menyebut nama Marthen Dira Tome akan memunculkan pandangan yang beragam. Ia dikenal sebagai bupati yang cukup kontroversial pada masanya. Ia tak segan berbeda pendapat, bahkan dengan pemimpin satu tingkat di atasnya. Namun perbedaan itu bukan karena urusan pribadi, melainkan soal cara pandang terhadap tata laksana pembangunan di Kabupaten Sabu Raijua, daerah muda yang baru mekar dari Kabupaten Kupang dan membutuhkan pendekatan yang adaptif dengan kondisi Sabu Raijua yang gersang.

Sabu Raijua, pulau kecil di ujung selatan NTT, terkenal gersang dan kering. Lautnya keras, tanahnya tandus, dan tingkat kemiskinan tinggi. Hidup di pulau para dewa itu seperti mengukur waktu dengan kesabaran panjang. Ketika kabupaten ini resmi berdiri pada 2008, wajahnya masih polos, pendapatan asli daerah hanya sekitar Rp350 juta bahkan tak cukup untuk membiayai satu proyek pembangunan besar.

Namun dari tanah yang keras itu, muncul sosok pemimpin dengan keyakinan bahwa Sabu Raijua tidak boleh selamanya terjebak dalam keterpencilan. Namanya Marthen Dira Tome, putra sederhana dengan gaya bicara lugas, to the point, tanpa basa-basi. Ia tidak berlama-lama dengan retorika. Kalimatnya pendek, seperti tombak yang dilempar tepat sasaran. Rakyat harus hidup lebih baik. Kekayaan alam jangan cuma jadi cerita yang tidur.

Baca Juga :  Letjend Gabriel Lema, Dari Hokeng ke Panggung Strategis TNI

Tahun-tahun awal kepemimpinannya tidak mudah. Infrastruktur nyaris tak ada, birokrasi masih belajar, dan kas daerah tipis. Namun dengan disiplin keras, ia menggiring Sabu Raijua untuk bergerak. Dana pusat dioptimalkan, peluang diburu, dan rakyat diajak terlibat.

Marthen seperti berlari dalam kegelapan sambil menggendong mimpi, lalu terbangun di pagi hari dengan optimisme baru untuk membangun. Ia tidak duduk di balik meja mengeluarkan titah, tetapi turun langsung ke lapangan. Ia menjadikan garam dan rumput laut sebagai ujung tombak peningkatan ekonomi rakyat dan sumber PAD. Rakyat mendapat penghasilan, daerah memperoleh dana untuk membangun infrastruktur dasar.

Perlahan, pendapatan daerah menanjak. Beberapa tahun kemudian, Sabu Raijua mencatat lonjakan luar biasa, dari Rp350 juta menjadi Rp47 miliar.

Bagi Marthen, capaian itu bukan kebanggaan semata. Ia sadar kemajuan tak akan bertahan tanpa sektor riil yang kokoh. Ia lalu menatap emas putih Sabu Raijua—garam. Laut di sekeliling pulau bukan sekadar panorama, melainkan ladang kesejahteraan. “Rakyat harus berdaulat di atas potensi yang dimilikinya,” ujarnya dalam diskusi itu.

Langkah awalnya dimulai dengan membangun tambak garam di Desa Ledeana dan Kolouju. Produksi meningkat dari tahun ke tahun hingga menjadikan Sabu Raijua sebagai salah satu lumbung garam nasional.

Namun sejarah pembangunan tak pernah berjalan lurus. Rezim selalu menulis kisah dengan caranya sendiri. Ketika Marthen Dira Tome terganjal kasus hukum, gemerlap garam yang dulu berkilau perlahan meredup. Tambak-tambak dibiarkan, gudang produksi sunyi, pekerja kehilangan penghasilan, dan mimpi tentang Sabu Raijua sebagai lumbung garam nasional seakan terkubur bersama waktu. Pulau kecil itu kembali menatap laut dengan wajah murung.

Tapi tanah gersang itu seolah menunggu tuannya kembali. Setelah melewati masa sulit, Marthen Dira Tome muncul lagi dengan semangat yang tak padam. Ia kembali bukan sebagai mantan bupati, melainkan anak pulau yang merasa masih punya hutang kepada tanah kelahirannya. Ia mengetuk pintu investor, meyakinkan mereka bahwa garam Sabu Raijua belum mati.

Ia mengajak rakyat bangkit, menata kembali tambak, memperbaiki tanggul, dan menghidupkan kembali semangat kerja. Para pekerja tambak tersenyum menatap truk-truk yang keluar dari pabrik menuju pelabuhan, dompet mereka kembali terisi.

Bagi Marthen, garam bukan sekadar butiran putih, tetapi simbol perlawanan terhadap nasib. Setiap karung garam adalah bukti bahwa rakyat kecil bisa berdiri tegak, bahwa pulau terpencil bisa menyumbang untuk negeri, bahwa masa depan selalu ada bagi mereka yang pantang menyerah.

Baca Juga :  Sabu Raijua dan Tiga Kabupaten di NTT Jadi Sentra Pengembangan Garam oleh Gubernur Melki

Di tengah terik Sabu Raijua, garam kembali berkilau—bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai tanda kebangkitan. Marthen Dira Tome hadir bukan dengan janji, tetapi dengan bukti: bahwa tanah kering pun bisa menjadi sumber kehidupan jika disentuh dengan keberanian dan ketulusan berpihak pada rakyat.

Kini, rakyat melihat hasil nyata. Truk mengangkut garam, kapal membawa hasil bumi ke Kupang, bahkan Timor Leste meminta pendampingan dari Sabu Raijua. Pulau kecil yang dulu dipandang sebelah mata, kini menjadi mitra kerja di bumi Timor Loro Sae.

Di balik perubahan itu, Dira Tome tetap sama: lugas, kadang keras, tapi jujur. Ia bicara tentang garam bukan sekadar komoditas, tetapi jalan keluar bagi keluarga miskin. Tentang jalan desa bukan sekadar aspal, tetapi akses bagi anak-anak bersekolah. Tentang listrik bukan sekadar fasilitas, tetapi penerang mimpi.

Setelah masa kepemimpinannya usai, nama Marthen Luther Dira Tome tetap lekat di ingatan. Ia dikenang sebagai pemimpin yang mengangkat kabupaten muda dari ratusan juta menjadi ratusan miliar; dari jalan berdebu menjadi aspal; dari butiran garam kecil menjadi industri bernilai triliunan rupiah.

Warisan terbesarnya bukan angka atau proyek, melainkan keyakinan bahwa pemimpin sejati harus berpihak pada rakyat. Sederhana, lugas, tapi penuh makna—seperti garam yang ia perjuangkan: memberi rasa, menguatkan, dan tak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan.

Kini, dari ratusan pekerja tambak garam yang mengelola ratusan hektar, Nataga Raihau Industri mampu memproduksi ribuan ton garam setiap bulan. Marthen juga meninggalkan jejak pembangunan nyata: pengembangan rumput laut untuk nelayan pesisir, Embung Guriola sebagai solusi kekeringan, dan pabrik air dalam kemasan Oasa yang membuka lapangan kerja baru. Namun pabrik Oasa harus tersungkur di tangan resim yang tak peduli.

Dari laut, tanah kering, hingga sumber air, semuanya ia ubah menjadi sumber kehidupan dan kebanggaan daerah—mengisi dompet rakyat sekaligus memperkuat PAD.

Marthen Dira Tome adalah sosok pemimpin yang memberi dirinya sepenuh hati bagi rakyat. Ia hadir dengan karya yang menyentuh kebutuhan dasar: garam, rumput laut, air, dan harapan.

Ia bagaikan dian yang tak pernah padam, menerangi jalan di tengah gelapnya keterbatasan, menyalakan harapan di tanah gersang, dan meninggalkan jejak abadi bahwa kepemimpinan sejati adalah tentang memberi, bukan menerima.(Elas Jawamara)

 

Berita Terkait

Aiptu Bergita Bengan Raih Ranking 1 Polwan dalam Seleksi PAG 2025 Polda NTT, Siap Jalani Pendidikan di Lemdiklat Sukabumi
Fransiscus Go, Putra Kefamenanu yang Sukses di Jakarta dan Kembali Bangun NTT Lewat Program Bedah UMKM
Letjend Gabriel Lema, Dari Hokeng ke Panggung Strategis TNI
Putra Sabu Raijua, Briptu Miha Israel Ara Riwu, Siap Jalankan Misi Perdamaian Dunia di Republik Afrika Tengah
Investor Korsel Lirik Potensi Energi Terbarukan dari Alga Laut di NTT
Meraup Cuan di Industri Kesehatan dengan Genqi Treatment

Berita Terkait

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 07:59 WIB

Aiptu Bergita Bengan Raih Ranking 1 Polwan dalam Seleksi PAG 2025 Polda NTT, Siap Jalani Pendidikan di Lemdiklat Sukabumi

Jumat, 24 Oktober 2025 - 09:53 WIB

Fransiscus Go, Putra Kefamenanu yang Sukses di Jakarta dan Kembali Bangun NTT Lewat Program Bedah UMKM

Kamis, 9 Oktober 2025 - 22:37 WIB

Letjend Gabriel Lema, Dari Hokeng ke Panggung Strategis TNI

Rabu, 8 Oktober 2025 - 17:35 WIB

Putra Sabu Raijua, Briptu Miha Israel Ara Riwu, Siap Jalankan Misi Perdamaian Dunia di Republik Afrika Tengah

Sabtu, 4 Oktober 2025 - 08:16 WIB

Marthen Dira Tome dan Jejak Karya di Pulau Para Dewa

Berita Terbaru