Kupang, NTTPedia.id – Terdakwa Fajar Widyadharma Lukman Sumatmadja alias Fajar alias Andi mantan Kapolres Ngada diputus hukuman penjara 19 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Apabila terdakwa yang terjerat kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak ini tidak bisa membayar denda pidana, maka hukuman penjara ditambah selama satu tahun empat bulan.
Putusan ini dibacakan hakim ketua Anak Agung Gde Agung Parnata yang juga Wakil Ketua PN Kupang dalam sidang di ruang Cakra Pengadilan Negeri Kupang pada Selasa (21/10/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembacaan putusan secara bergantian oleh tiga majelis hakim dihadiri Tim JPU yang terdiri dari Arwin Adinata, Kadek Widiantari, Samsu Jusnan Efendi Banu, dan Sunoto.
Hakim ketua dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan itu didampingi dua hakim anggota Putu Dima Indra dan Sisera Semida Naomi Nenohayfeto.
Sementara terdakwa Fajar didampingi kuasa hukum Akhmad Bumi, Budy Nugroho dan Andi Alamsyah. Sidang yang berlangsung terbuka untuk umum ini itu diwarnai aksi demontrasi dari aliansi masyarakat sipil di Kota Kupang.
Selain memutuskan hukuman 19 tahun penjara, terdakwa Fajar juga diwajibkan membayar restitusi sebesar Rp359.162.000 sesuai hasil penilaian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Rinciannya, anak korban IS sebesar Rp34.645.000. Anak korban MAN sebesar Rp159.416.000 dan anak korban WAF sebesar Rp165.101.000.
“Apabila terdakwa tidak mampu membayar uang restitusi maka hukuman ditambah satu tahun penjara,” tandas hakim ketua.
Hakim juga memerintahkan kepads terdakwa menjalani hukuman kurungan di Lapas seperti yang dijalani selama ini.
Terdakwa Fajar sempat berkonsultasi dengan tim penasehat hukumnya begitu putusan selesai dibacakan.
Melalui penasehat hukumnya Ahmad Bumi, terdakwa Fajar menyatakan masih pikir-pikir dengan putusan tersebut.”Kami masih pikir-pikir,” ujar Ahmad Bumi.
Dalam uraian hakim, terungkap sejumlah fakta kalau Fajat terbukti secara meyakinkan bersalah dan sengaa mendistribusikan dokumen elektronik yang memiliki muatan asusila.
Hakim menyebutkan, saat sidang terdakwa membantah merekam delapan video dan mengaku tidak mendistribusikan delapan video tersebut.
Padahal hakim menyatakan, ada delapan video asusila terhadap korban IBS yang direkam Fajar dari handphone samsung S20 dan disebar luaskan melalui media sosial pada akun Lelaki.
Perbuatan ini dilakukan terdakwa Fajar pada 11 Juni 2024 di kamar hotel Kristal Kupang “Terdakwalah yang telah mendistribusikan dengan sengaja dan tanpa hak delapan video melakukan cabul pada korban IBS,” sebut hakim.
Terdakwa Fajar juga rupanya suka menonton film porno sejak 2010 dan sudah menceritakan kepada istrinya kalau ia suka pada anak kecil.
Tim JPU mendakwa terdakwa dengan dakwaan kombinasi (alternatif kumulatif).
Dakwaan kesatu pasal 81 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 76E dan ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2016.
Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 ayat (1) huruf e dan huruf g UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dakwaan Kedua pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
JPU menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi unsur pidana sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu (Pasal 81 ayat (2) jo. Pasal 65 KUHP) dan Dakwaan Kedua (Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 64 KUHP).
JPU menuntut agar terdakwa dihjatuhkan pidana penjara selama 20 tahun serta pidana denda sebesar Rp 5.000.000.000 subsidair 1 tahun 4 bulan kurungan.
Hal-hal yang memberatkan, terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan tidak menunjukkan penyesalan. Perbuatan terdakwa menimbulkan trauma mendalam bagi anak korban.
Kasus ini menjadi viral di media sosial, menimbulkan keresahan masyarakat luas. Sebagai aparat penegak hukum, terdakwa seharusnya menjadi teladan, namun justru mencoreng nama baik institusi.
Perbuatan terdakwa merusak citra Polri dan bangsa di mata internasional. Tidak mendukung program pemerintah dalam perlindungan anak. Hal yang meringankan bahwa terdakwa mengakui perbuatan pada dua anak korban.















